Selasa, 01 Oktober 2019


Paper Sosiologi Kehutanan                                                          Medan, 02 Oktober 2019

 SOSIAL BUDAYA KABUPATEN DAIRI

Dosen Penanggungjawab:
Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.si.

Disusun :
Yulyus Octobrian Manurung  171201222
MNH 5








                                                                             






 








PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019




KATA PENGANTAR

            Puji syukur sya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, serta karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dalam bentuk paper, tanpa suatu halangan yang amat berarti hingga saya dapat menyelesaikan paper ini dengan baik.
            Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telas berpartisipasi dalam pembuatan paper ini, dan kepada Dosen mata kuliah Sosiologi Kehutanan Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si. Tugas paper yang diberi judul “Budaya Sosial Kabupaten Dairi’. Diharapkan paper ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
            Demikian yang dapat kami sampaikan, apabila ada kata didalam paper ini yang kurang berekenan kami mohon maaf. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan paper ini. Semoga paper ini bermamfaat bagi pembaca sekalian.








Medan, 02 Oktober 2019


                         penulis





PENDAHULUAN
Kabupaten Dairi adalah sebuah kabupaten di provinsi Sumatra UtaraIndonesia. Ibu kotanya ialah Sidikalang. Kabupaten ini kemudian dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dairi sebagai kabupaten induk dan Kabupaten Pakpak Bharat dengan dasar hukum Undang Undang Nomor 9 Tahu 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Humbang Hasundutan yang dikeluarkan pada tanggal 25 Februari 2003

Kabupaten Dairi
Kabupaten Dairi merupakan salah satu dari 33 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatra Utara dengan luas wilayah 192.780 hektare, yaitu sekitar 2,69% dari luas Provinsi Sumatra Utara (7.160.000 hektare) yang terletak di sebelah barat laut Provinsi Sumatra Utara. Pada umumnya Kabupaten Dairi berada pada ketinggian rata-rata 700 s.d. 1.250 m di atas permukaan laut, dengan 15 kecamatan. Jumlah penduduk Kabupaten Dairi akhir tahun 2004 adalah sebanyak 271.521 jiwa dengan banyaknya rumah tangga sebesar 59.197. Penyebaran penduduk tersebut tidak merata di 14 kecamatan definitif.
Pada Masa Agresi 1 Berdasarkan surat Residen Tapanuli Nomor 1256 tanggal 12 September 1947, maka ditetapkanlah PAULUS MANURUNG sebagai Kepala Daerah Tk. II pertama di Kabupaten Dairi yang berkedudukan di Sidikalang, terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1947 (catatan: hari bersejarah ini berdasarkan kesepakatan pemerintah dan masyarakat kelak dikukuhkan sebagai hari jadi Kabupaten Dairi, melalui Keputusan DPRD Kab. Dati II Dairi Nomor 4/K-DPRD/1997 tanggal 26 April 1977) Dengan demikian, PAULUS MANURUNG (HATIAN PAULUS MANURUNG), seorang Ahli Hukum dari Medan, Ketua Pengadilan Tebing Tinggi, Pendidik, merupakan Bupati Pertama Kabupaten Dairi.
Taman Wisata Iman Sitinjo, Kabupaten Dairi
Pada Masa Sesudah Tahun 1960: Kabupaten Dairi didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1964 tentang Pembentukan Kabupaten Dairi, selanjutnya wilayahnya ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15  1964 tentang Wilayah Kecamatan di Kabupaten Dairi, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Penjabat Bupati Kepala Daerah Dairi pertama ditetapkan Rambio Muda Aritonang yang bertugas mempersiapkan pembentukan DPRD Dairi sert pemilihan Bupati definitif. Pada kesempatan pertama Bupati Kepala Daerah Dairi terpilidengan suara terbanyak adalah MAYOR RAJA NEMBAH MAHA pada tanggal 2 Mei1964. Sejak tahun 1999 sampai dengan 2009 Kabupaten Dairi dipimpin oleh Bupati Dr. MASTER PARULIAN TUMANGGER dan pada akhirnya digantikan oleh wakilnya, Kanjeng Raden Adipati (KRA) Johnny Sitohang Adinegoro. Kanjeng Raden Adipati (KRA) Johnny Sitohang Adinegoro dan Irwansyah Pasi, S.H. menjadi Bupati dan Wakil Bupati Dairi periode 2009-2014.

TUJUAN
1     1.      Untuk mengetahui interaksi sosial yang terjadi di kabupaten dairi.
2     2.      Untuk mengetahui struktur sosial yang terjadi di kabupaten dairi.
3     3.      Untuk mengetahui kelompok sosial yang terjadi di kabupaten dairi.
4     4.      Untuk mengetahui nilai/norma sosial yang ada di kabupaten dairi.
5     5.      Untuk mengetahui pembukaan sosial yang terjadi di kabupaten dairi.
6     6.      Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi di kabupaten dairi.
                                              
 HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Interaksi Sosial
Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Gemerlap cahaya lampu warna-warni dari panggung masih menghidupkan suasana lapangan dermaga Pelabuhan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Sabtu (10/9/2016) malam itu, berbagai budaya tradisional khas Batak menjadi pertunjukan yang menghibur warga lokal maupun wisatawan. Meski sudah cukup larut malam, animo masyarakat masih sangat terasa. Tak hanya dewasa, anak-anak dan remaja pun turut menonton atraksi budaya yang ditampilkan dalam Festival Danau Toba (FDT) 2016 itu. Ada yang duduk di lapangan, berdiri, juga turut berjoget mengikuti alunan musik tradisional yang dimainkan. 

Salah satu kabupaten di kawasan Danau Toba yang turut memeriahkan festival yakni Kabupaten Dairi. Keseluruhan ada 28 orang yang menari dan memainkan musik dari sanggar binaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Dairi. Siswati menjelaskan bertani padi dan kopi sidikalang merupakan mata pencaharian utama warga Kabupaten Dairi. Oleh karena itu Tarian Merjuma yang berarti bertani menjadi salah satu kebudayaan kabupaten tersebut. Hal yang menjadi ciri khas Tari Merjuma adalah kaki yang dijinjit.

Struktur Sosial 


Hasil penelitian yang ditemukan adalah sastra lisan “huta silahisabungan”, yang direkam dari tiga orang narasumber, yakni Efendi Situngkir (56 tahun), Diana Sidabariba (54 tahun) dan satu masyarakat, yang bernama Raniyam Sinabariba (89 tahun) dan juga struktur tema dan penokohan dalam sastra lisan “huta silahisabungan”. Analisis sastra lisan “huta silahisabungan” bertujuan untuk mendapatkan susunan nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam cerita, sehingga akan diperoleh nilai budaya Batak Toba apa saja yang muncul dari cerita tersebut dan juga diperolehnya struktur tema dan penokohan dalam cerita. Adapun struktur tema dan penokohan dalam sastra lisan “huta silahisabungan” yakni: tema dalam sastra lisan “huta silahisabungan” ialah menceritakan tentang perjalanan Raja Silahisabungan dalam membangun huta Silahisabungan (kampung) dan semua keturunannya akan selalu dihormati sepanjang perjalanan masa. Tokoh atau penokohan terbagi dua yaitu, tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya sastra yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang kehadirannya hanya ada jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.

 Dalam cerita lisan huta silahisabungan terdapat banyak tokoh. Selain tokoh utama, juga terdapat banyak tokoh bawahan yang kehadirannya sangat diperlukan untuk membentuk kepaduan dan keutuhan cerita. Namun, dalam bagian ini beberapa tokoh penting saja yang dibicarakan antara lain: (1) Raja Silahisabungan, merupakan suami dari Pinta Haomasan boru Baso Nabolon yang mana sebagai upahnya membantu Sorbadijulu mengusir musuhnya marga Lontung. Raja Silahisabungan dan Pinta Haomasan boru Baso Nabolon tinggal di huta Tolping. Perkawinan mereka ini melahirkan seorang anak yang diberi nama Silalahi. Raja Silahisabungan adalah seorang tokoh yang sakti, sanggup mengusir bala atau penyakit, pintar dan sabungan (tangkas) di hata (bicara). (2) Pinggan Matio boru Padang Batanghari adalah istri Raja Silahisabungan saat beliau berada di Silalahi Nabolak. Dari perkawinan ini, Pinggan Matio boru Padang Batanghari melahirkan 7 orang putra dan seorang putri masing-masing diberi nama Sihaloho, Situngkir, Sondiraja, Sidebang, Sinabutar, Sinabariba, dan Pintubatu sedangkan putrinya bernama Deang Namora. (3) Siboru Nailing boru Nairasaon adalah istri Raja Silahsiabungan saat beliau bertanding ilmu di Sibisa Uluan. Dari perkawinan ini, Siboru Nailing boru Nairasaon melahirkan seorang putra yang bernama si Raja Tambun.  

                                                                                                                                         Kelompok Sosial 
Paguyuban didefinisikan sebagai perkumpulan yang bersifat kekeluargaan , didirikan orang orang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan) diantara para anggotanya. Paguyuban merupakan salah satu bentuk dari klasifikasi kelompok sosial. Pengelompokkan dari paguyuban (gemeinschaft) didasarkan atas rasa ikatan batin yang telah terbentuk sejak lama dan bergantung pada interaksi antar individu yang bersifat primer. 
Orang-orang yang tergabung dalam suatu paguyuban mempunyai ciri pokok yaitu hubungan menyeluruh yang cukup erat, hubungan yang bersifat pribadi dan hubungan yang hanya dikhususkan bagi para anggotanya dan tidak kepada orang lain yang bukan anggotanya.Secara umum, didalam masyarakat terdapat beberapa jenis Paguyuban dalam masyarakat, yaitu paguyuban karena ikatan darah (Gemeinschaft by blood) interaksi yang terbentuk karena adanya ikatan darah (Gemeinschaft by blood) dari para anggota-anggotanya. 
Paguyuban jenis lainnya adalah paguyuban yang terbentuk karena tempat (Gemeinschaft by place), kelompok paguyuban ini terbentuk karena tempat berdasarkan keberadaan lokalitas atau lokasi yang sama. Jenis paguyuban yang lainnya adalah karena ideologi (Gemeinschaft of mind), kelompok paguyuban ini terbentuk karena ideologi didasarkan atas kesamaan ideologi atau pemahaman yang dimiliki oleh para anggotanya.
                                                                                                                                                         Nilai/norma Sosial 
Budaya Batak, khususnya Budaya Batak Toba adalah budaya yang unik, setidaknya itu tergambar dari Keluhuran Budaya Batak Toba yang tidak kalah levelnya dengan budaya bangsa manapun di atas jagat raya ini. Oleh karena itu sudah seharusnya di era kekinian penulis harus kembali mencoba untuk melestarikan adat-budaya sebagai wahana untuk membangun karakter, jati diri bangsa melalui penggalian nilai-nilai luhur budaya sebagai bagian dari Mahakarya Indonesia yang tidak hilang ditelan oleh jaman.
Adat – budaya adalah elemen dasar pembangunan karakter bangsa (national character building) sehingga upaya-upaya pelestarian serta pengembangan nilai-nilai luhur adat – istiadat dan budaya merupakan keharusan dilaksanakan agar nilai-nilai luhur tersebut bisa dipertahankan, dilestarikan serta dikembangkan sebagai jati diri masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebab, seiring dengan perkembangan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi maka Mahakarya Indonesia yang tergambar dari beragam-ragam Adat – budaya, khususnya adat – budaya lokal sudah mulai pudar dilestarikan dan dikembangkan karena pengaruh dari budaya asing (Westernisasi) yang merasuki generasi muda bangsa Indonesia.
                                                                                                                                     Pembukaan Sosial 
              Sistem kepercayaan yang pertamakali muncul pada orang Batak Toba adalah sitolu sada (tiga dalam satu) sebagai konsepsi ketuhanan dan kosmos dalam Parmalim, aliran kepercayaan tradisional Batak Toba (Bonus Matra, 1994). Dalam konsepsi tentang kosmos dikenal dengan istilah “banua na tolu” atau alam yang tiga”, yaitu banua ginjang (dunia atas), banua tonga (alam tengah), dan banua toru (alam bawah). Secara alamiah setiap manusia akan melewati tiga tahapan alam. Sebelum lahir ke dunia nyata jiwa manusia terlebih dahulu berada di banua toru, alam bawah, rahim ibunya. Setelah batas umur tertentu dalam rahim ibunya baru dapat memasuki tahapan alam kedua, yaitu dunia fana, banua tonga. Ketika ada perpisahan antara jiwa dengan raga dalam diri manusia, maka jiwa (tondi/hosa) memasuki alam tahap akhir yang disebut banua ginjang, alam akhirat, dunia abadi.
              Pemikiran tradisional tentang kosmos kemudian dikembangkan untuk mengkonsepsikan masalah ketuhanan yang dikenal dengan konsep “debata na tolu”, Tuhan Nan Tiga, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa (Mulajadi na Bolon) (Sumardjo, 2002 : 138-140) memiliki kekuasaan mencipta, menghukum, dan mengadili manusia yang telah menjalani kehidupan dalam kosepsi banua na tolu. Sebagai pencipta, pemberi berkah, dan pemberi keadilan di hari kiamat, disebut Batara Guru/Tuan Batara Guru/Mulajadi na Bolon yang mengusai alam atau dunia atas. Penguasa dunia tengah adalah Batara Sori/patuan Harajaon Sori/Silaon na Bolon yang bertugas memberikan kutukan kepada manusia yang berdosa. Dan penguasa dunia/alam bawah adalah Patuan Bala Bulan/Bela Bulan/ Pane na Bolon bertugas mengusai makhluk halus dan dunia pedukuna (Bangun, 1982 :113-114; Bonus Matra 1994 : 4; Simanjuntak, 2001 : 164-165).

Perubahan Sosial

         Dairi merupakan salah satu tempat atau komunitas yang mempertahankan kearifan adat lokalnya sendiri. Dairi memiliki berbagi suku dan adat budaya yang beraneka ragam salah satunya adat pakpak yang merupakan suku pertama yang menempati dairi akan tetapi seiring berjalannya waktu muncul beberapa suku lainnya seperti suku batak toba dan batak karo. namu Dairi tetap mempertahankan adat pakpak sebagai suku utama atau wajah di kabupaten Dairi.

         

  



8 komentar:

Tugas Penilaian Hutan                                                                                          Medan,  Oktober 2019 RO...