UNDANG-UNDANG KEHUTANAN
Dosen Penanggungjawab:
Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.si.
Disusun :
Yulyus Octobrian Manurung ( 171201222 )
HUT 3D
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1968
TENTANG
PENARIKAN URUSAN KEHUTANAN DARI DAERAH KEHUTANAN
KABUPATEN KE PROPINSI DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN TIMUR
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
memerlukan kesatuan areal hutan yang luas dan tidak terpecah-pecah pengurusannya;
b. bahwa menurut penjelasan pasal 12 Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, pengurusan hutan yang sebaik-baiknya harus dilaksanakan dalam daerah yang meliputi wilayah seluas-luasnya, sehingga Pemerintah beranggapan bahwa pengurusan hutan hanya dapat dipertanggung- jawabkan jika "Urusan Kehutanan" diserahkan kepada Daerah Tingkat I;
c. bahwa diwilayah Indonesia Bagian Timur hingga sekarang urusan kehutanan secara juridis masih ada pada Daerah Kabupaten, dan oleh karenanya dipandang perlu untuk ditarik ke Daerah Propinsi, sebagaimana yang sudah berlaku di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966;
3. Ketetapan M.P.R.S. No. XXXIII/MPRS/1967;
4. Undang-undang No. 60 tahun 1958 (L.N. 1958 No. 111) tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Maluku;
5. Undang-undang No. 69 tahun 1958 (L.N. 1958 No. 122) tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Nusatenggara;
6. Undang-undang No. 29 tahun 1959 (L.N. 1959 No. 74) tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi;
7. Undang-undang No. 18 tahun 1965 (L.N. 1965 No. 83) tentang otonomi Daerah;
8. Undang-undang No. 5 tahun 1967 (L.N. 1967 No. 8) tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan;
9. Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957.
Memutuskan :
Menetapkan : Peraturan Pemerintah tentang penarikan urusan kehutanan dari Daerah Kehutanan Kabupaten ke Propinsi diwilajah Indonesia Bagian Timur.
Pasal 1.
Mencabut pasal 8 ayat (1) dan (2) dari Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957 sepanjang yang mengenai ketentuan penyerahan wewenang dalam bidang Kehutanan diwilayah-wilayah bekas Negara Indonesia Bagian Timur.
Pasal 2.
Menyerahkan wewenang dalam bidang. kehutanan untuk wilayahwilayah bekas Negara Indonesia Bagian Timur - sebagai termaksud pada pasal 1 tersebut diatas pada Daerah Propinsi.
Pasal 3.
Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 4.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 28 Pebruari 1968.
Pd. Presiden Republik Indonesia,
ttd
SOEHARTO.
Jenderal T.N.I.
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 28 Pebruari 1968.
Sekretaris Kabinet Ampera R.I.,
ttd
SUDHARMONO S.H.
Brig. Jen. T.N.I.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;
c. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harusmenampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
d. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal l
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
12. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
15. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Bagian Kedua Asas dan Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
Pasal 3
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Bagian Ketiga Penguasaan Hutan
Pasal 4
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
BAB II STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara; dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal 6
(1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a.
fungsi konservasi,
b.
fungsi lindung, dan
c.
fungsi produksi.
(2) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a.
hutan konservasi;
b.
hutan lindung, dan
c.
hutan produksi.
Pasal 7
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari :
a.
kawasan hutan suaka alam,
b.
kawasan hutan pelestarian alam, dan
c.
taman buru.
Pasal 8
(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti:
a.
penelitian dan pengembangan,
b.
pendidikan dan latihan, dan
c.
religi dan budaya.
(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 9
(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan:
a.
perencanaan kehutanan,
b.
pengelolaan hutan,
c.
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
d.
pengawasan.
BAB IV PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 11
(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf: a, meliputi
a.
inventarisasi hutan,
b.
pengukuhan kawasan hutan,
c.
penatagunaan kawasan hutan,
d.
pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
e.
penyusunan rencana kehutanan.
Bagian Kedua Inventarisasi Hutan
Pasal 13
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari :
a.
inventarisasi hutan tingkat nasional,
b.
inventarisasi hutan tingkat wilayah,
c.
inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan
d.
inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pengukuhan Kawasan Hutan
Pasal 14
(1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sebagai berikut: dilakukan melalui proses
a.
penunjukan kawasan hutan,
b.
penataan batas kawasan hutan,
c.
pemetaan kawasan hutan, dan
d.
penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Bagian Keempat Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:
a.
propinsi,
b.
kabupaten/kota, dan
c.
unit pengelolaan.
(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi Pemerintahan.
(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi Pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Penyusunan Rencana Kehutanan
Pasal 20
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, Pemerintah menyusun rencana kehutanan.
(2) Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V PENGELOLAAN HUTAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 21
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
a.
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b.
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c.
rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d.
perlindungan hutan dan konservasi alam.
Bagian Kedua Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 22
(1) Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
(2) Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
(3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan.
(4) Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 23
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pasal 24
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Pasal 25
Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 27
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. Koperasi,
c.badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi.
Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 29
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
Koperasi,
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi.
c.
badan usaha milik swasta Indonesia,
d.
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b.
Koperasi,
c.
badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.perorangan,
b. Koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi
Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar